Beranda | Artikel
Fikih Dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (Bag. 3)
Senin, 13 Juni 2022

Baca pembahasan sebelumnya Fikih Dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (Bag. 2)

Memahami tujuan penciptaan

Di dalam Kitab Tauhid, beliau sangat memperhatikan bagaimana agar umat manusia benar-benar memahami apa tujuan mereka diciptakan oleh Allah di atas muka bumi ini. Beliau pun menyebutkan ayat-ayat Allah yang menunjukkan pentingnya tauhid. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu menafsirkan ayat itu, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk Aku perintahkan mereka agar beribadah kepada-Ku dan Aku seru mereka untuk beribadah kepada-Ku.”

Mujahid rahimahullah berkata, “Melainkan untuk Aku perintah dan larang mereka.” Inilah penafsiran yang dipilih oleh Az-Zajaj dan Syaikhul Islam. (lihat Ad-Durr An-Nadhidh, hal. 10)

Al-Baghawi rahimahullah menyebutkan salah satu penafsiran ayat ini. Bahwa sebagian ulama menafsirkan “melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” dengan makna, “melainkan supaya mereka mentauhidkan-Ku.” Seorang mukmin akan tetap mentauhidkan-Nya dalam keadaan sulit (genting) dan lapang. Sedangkan orang kafir mentauhidkan-Nya ketika kesulitan dan bencana, namun tidak demikian dalam kondisi berlimpah nikmat dan kelapangan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فَإِذَا رَكِبُوا۟ فِی ٱلۡفُلۡكِ دَعَوُا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ 

“Apabila mereka naik di atas perahu, mereka pun berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/doa untuk-Nya.” (QS. Al-‘Ankabut: 65) (lihat Ma’alim At-Tanzil, hal. 1236)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ adalah agar mereka mengesakan Aku (Allah, pent) dalam beribadah. Atau dengan ungkapan lain ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ maksudnya adalah agar mereka mentauhidkan Aku, karena tauhid dan ibadah itu adalah satu (tidak bisa dipisahkan, pent).” (lihat I’anat Al-Mustafid, 1: 33)

Dalam rangka mewujudkan tujuan yang agung inilah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab kepada umat manusia. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu -Muhammad- seorang rasul pun, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar, kecuali Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Anbiya’ : 25) (lihat kitab Tajrid At-Tauhid min Daran Asy-Syirki wa Syubah At-Tandid, hal. 11)

Nabi Nuh ‘alaihis salam -rasul yang pertama- pun diutus oleh Allah kepada kaumnya untuk mengajarkan tauhid, yaitu penghambaan kepada Allah semata. Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَقَالَ یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۤ 

“Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia pun berkata, ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian ilah (sesembahan) selain-Nya.’” (QS. Al-A’raf: 59)

Begitu pula Allah mengutus Nabi Hud ‘alaihis salam kepada kaumnya dengan membawa misi dakwah tauhid. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمۡ هُودࣰاۚ قَالَ یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۤۚ

“Dan kepada kaum ‘Aad, Kami pun mengutus saudara mereka Hud. Dia berkata, ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raf: 65)

Dan demikian itulah misi dakwah para rasul di sepanjang masa. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ 

“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl: 36)

Ketika menerangkan kandungan ayat tersebut, Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa hikmah diutusnya para rasul adalah supaya mereka mendakwahi kaumnya untuk beribadah kepada Allah semata dan melarang dari beribadah kepada selain-Nya. Selain itu, ayat ini menunjukkan bahwa -tauhid- inilah agama para nabi dan rasul, walaupun syari’at mereka berbeda-beda.” (lihat Fathul Majid, hal. 20)

Setiap ibadah yang ditujukan kepada selain Allah pada hakikatnya adalah peribadatan kepada thaghut. Apabila yang disembah rida dengan hal itu, maka dia adalah thaghut. Dan apabila yang disembah tidak meridai perbuatan itu, maka itu adalah penghambaan kepada thaghut yaitu setan karena dialah yang memerintahkannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ 

“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36) (lihat Syarh Risalah Al-’Ubudiyah, hlm. 15)

Tauhid inilah intisari agama Islam. Dan Allah tidak menerima agama, kecuali Islam. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن یَبۡتَغِ غَیۡرَ ٱلۡإِسۡلَـٰمِ دِینࣰا فَلَن یُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ

“Dan barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)

Semua agama yang bertentangan dengan tauhid, maka tertolak. Karena hakikat Islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan, dan membersihkan diri dari syirik dan berlepas diri dari pelakunya. Inilah hakikat agama Islam yang dibawa oleh segenap rasul dari yang pertama hingga yang terakhir. (lihat At-Ta’liq Al-Mukhtashar Al-Mubin ‘ala Qurrati ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 22)

Baca Juga: Ada Apa dengan Wahabi?

Tema bahasan kitab tauhid

Syekh Abdul Karim Al-Khudhair hafizhahullah menjelaskan, “Tema pembahasan Kitab Tauhid ini secara umum adalah mengenai tauhid ibadah, yaitu tauhid uluhiyah. Hal itu berangkat karena mendesaknya kebutuhan terhadapnya, semoga Allah merahmati beliau, penulis kitab ini.

Beliau (penulis kitab tauhid) memandang kebutuhan sangat mendesak di masanya untuk lebih menekankan lagi perkara tauhid ini dan bahwa keadaan umat manusia di masanya banyak yang menyimpang dalam mewujudkan tauhid ini. Sampai-sampai para ulama menyerupakan kondisi yang ada pada masa beliau dengan keadaan orang-orang musyrik di zaman Rasul ‘alaihis shalatu wassalam yang Rasul diutus kepada mereka ketika itu, yaitu disebabkan maraknya berbagai bentuk kesyirikan.

Adapun ditinjau dari perkara tauhid rububiyah, maka hal itu diakui dan diyakini oleh kaum musyrik di masa itu, mereka tidak menentang hal itu. Selain itu, tulisan dan karya kaum muslimin dalam membeberkan tauhid rububiyah itu sudah sangat banyak.

Syekh Muhammad ketika menulis kitab ini -semoga Allah merahmatinya- merasakan apa-apa yang saat itu benar-benar dibutuhkan oleh manusia. Beliau tidak menjabarkan secara panjang lebar semua jenis tauhid yang lain, yaitu tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat– seperti ketika menjabarkan tauhid uluhiyah dengan luas. Hal itu semata-mata karena menimbang betapa besar dan mendesaknya kebutuhan akan hal itu.

Dan setiap ulama yang menyusun karya, tentu bermaksud memberikan manfaat bagi kaum muslimin. Dan beliau tidaklah menyusun, kecuali dalam hal-hal yang benar-benar dibutuhkan oleh umat, yaitu perkara yang sangat mendesak bagi masyarakat. Apabila dia (seorang ulama) melihat bahwa kebutuhan manusia sangat mendesak di masanya terhadap suatu jenis ilmu, maka dia pun mencurahkan upaya untuk menyusun tulisan tentangnya dan menjelaskan hal itu serta menyingkap apa-apa yang manusia samar terhadapnya.” Sekian nukilan dari beliau. [1]

Baca Juga: An Nawawi Dan Ibnul Mundzir Adalah Wahabi?

Keunggulan kitab tauhid

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah telah menulis Kitabut Tauhid yang secara khusus menjelaskan tentang tauhid uluhiyah (tauhid ibadah). Tauhid inilah yang menjadi pokok dari macam-macam tauhid yang ada. Penulis mengkhususkan kitab ini untuk menjelaskan masalah tauhid ibadah disebabkan banyaknya kekeliruan yang terjadi dalam hal ini. Tauhid inilah yang menjadi pondasi agama. Sehingga tidak akan benar tauhid, kecuali apabila tauhid uluhiyah ini diwujudkan dengan benar. (lihat At-Ta’liq Al-Mukhtashar Al-Mubin, hal. 5)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa Kitab Tauhid salah satu kitab paling berharga dalam bidang tauhid. Karena kitab ini dibangun di atas landasan Al-Kitab dan As-Sunnah. Beliau juga membawakan perkataan para ulama terdahulu yang menjelaskannya. Sehingga kitab ini bukanlah berisi pendapat si A atau si B, tetapi ia memuat kalam Allah, ucapan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ucapan para imam ahli agama dan panutan umat. (lihat I’anatul Mustafid, 1: 18)

Kitab Tauhid tersebut -sebagaimana diterangkan oleh Syekh Bin Baz- berisi tentang penjelasan hakikat tauhid, penjelasan hakikat syirik, bantahan bagi para pelaku syirik, penjelasan bahwa ibadah itu adalah hak Allah semata, kewajiban memurnikan ibadah untuk Allah, wajib mewaspadai segala jenis syirik baik besar maupun kecil, penjelasan berbagai celah yang mengantarkan kepada syirik, dan penjelasan seputar bid’ah dan maksiat yang bisa merusak dan menodai tauhid. (lihat Syarh Kitab Tauhid, hal. 16)

[Bersambung]

Baca Juga:

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si


Artikel asli: https://muslim.or.id/75615-fikih-dakwah-syekh-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-3.html